Srimad Bhagavatam Skanda 7 Jilid 1

Rp. 150.000
Stok : Tersedia
Quantity-+Beli Produk
Gambar Produk Lainnya :



Deskripsi Produk
Berat : 600gr
Srimad Bhagavatam Skanda 7 Jild 1

Berat : 600gr
Judul: Srimad Bhagavatam Skanda 7 Jilid 1

Jumlah Gambar Berwarna: 8 gambar
Jumlah Halaman Romawi: 6 halaman
Jumlah Halaman Isi: 384 halaman
Dimensi: (Panjang x Lebar x Tinggi) 19,5 x 13,5 x 3 cm 

Dapatkan Segera hanya di MAHANILA STORE....

http://mahanilastore.blogspot.com
(here we go...)

Bhagavata-Purana ini seterang matahari dan terbit tidak lama setelah keberangkatan Tuhan Sri Krishna ke tempat tinggal-Nya Sendiri, diiringi dharma, pengetahuan, dsb. Orang-orang yang kehilangan penglihatan karena gelapnya kebodohan pada zaman Kali akan memeroleh cahaya dari Purana ini. (Srimad-Bhgavatam 1.3.43).


Ilmu pengetahuan abadi India diutarakan dalam Kitab-kitab Veda, sastra purba dalam Bahasa Sanskerta yang menyentuh segala bidang pengetahuan umat manusia. Awalnya dilestarikan melalui tradisi lisan, kitab-kitab Veda disusun dalam bentuk tertulis untuk kali pertama lima ribu tahun silam oleh Srila Vysadeva, inkarnasi Tuhan di bidang sastra. Setelah menyusun kitab-kitab Veda, Vysadeva mengemukakan hakikat Veda dalam bentuk uraian singkat yang dikenal sebagai Vedanta-sutra . Srimad-Bhgavatam adalah ulasan Vysadeva atas kitab-kitab Vedanta-sutra karya beliau sendiri. Beliau menulis rmad-Bhgavatam setelah matang dalam kehidupan spiritual di bawah bimbingan Narada Muni, guru spiritualnya. Disebut sebagai buah matang dari pohon kesusastraan Veda, rmad-Bhagavatam merupakan penjelasan yang paling lengkap dan absah atas pengetahuan Veda.

SINOPSIS SINGKAT BAB 1
GAMBAR SATU

Maharaja Yudhisthira menyelenggarakan upacara korban suci besar Rajasuya dan dihadiri oleh semua dewa yang agung, para brahmana dan resi-resi yang paling ahli, serta raja-raja dari berbagai penjuru dunia. Ketika semua hadirin terhormat dalam pertemuan itu mulai mempersembahkan pemujaan kepada Sri Krsna sebagai pribadi yang paling mulia, Raja Sisupala menjadi sangat marah. Sejak awal masa kanak-kanaknya, bahkan ketika ia belum fasih berkata-kata, Sisupala, putra penuh dosa dari Damaghosa, sudah mulai menghina Sri Krsna. Demikianlah, karena tidak tahan me-lihat penghormatan sedemikian besar diberikan kepada Krsna dan sifat-sifat Krsna dimuliakan, Sisupala tiba-tiba berdiri dan mulai melontarkan kata-kata kasar menghina Krsna. Semua raja yang hadir di sana menjadi sangat marah dan langsung menghunus pedang dan tameng mereka hendak membunuh Sisupala, tetapi ketika Krsna melihat bahwa nyaris terjadi keributan di arena ber-tuah korban suci Rajasuya, Krsna sendiri menenangkan mereka semua. Atas karunia-Nya yang tanpa sebab, Dia memutuskan un-tuk membunuh sendiri Sisupala. Ketika Sisupala mengejek raja-raja yang hendak menyerang dirinya, Krsna mengeluarkan senjata cakra-Nya, yang setajam pisau silet, dan langsung memenggal kepala Sisupala. Di hadapan semua pribadi mulia dalam pertemuan itu, jiwa Sisupala menyatu ke dalam badan rohani Tuhan Yang Maha-kuasa, Krsna. (hal. 27-32)

GAMBAR DUA

Suatu ketika, empat putra Dewa Brahma yang bernama Sanaka, Sanandana, Sanatana dan Sanat-kumara datang ke Visnuloka setelah mengembara ke seluruh tiga dunia. Walaupun usia empat resi agung ini lebih tua daripada putra-putra Brahma lainnya, penampilan mereka layaknya anak kecil berusia lima atau enam tahun yang tidak berbusana. Setelah melewati enam gerbang Vai-kuntha Puri, tempat kediaman Tuhan, di gerbang ketujuh mereka berjumpa dua pribadi bercahaya, yang memegang gada dan terhias dengan perhiasan bernilai tinggi, anting-anting dan berlian. Ka-lungan bunga segar yang memikat lebah-lebah mabuk terpasang di leher dua penjaga gerbang itu, di sela-sela empat lengan biru mereka. Ketika Jaya dan Vijaya melihat para resi hendak memasuki Vaikunthaloka, kedua penjaga gerbang ini melarang mereka ma-suk, mengira mereka anak-anak biasa. Demikianlah Sanandana dan resi-resi lainnya, yang sesungguhnya adalah insan-insan yang sangat berkualifikasi karena telah menginsafi kebenaran tentang sang diri, menjadi sangat marah dan mengutuk Jaya dan Vijaya. "Kalian dua penjaga gerbang yang bodoh," ujar mereka. "Karena kesadaran kalian goyah oleh sifat nafsu dan kebodohan, kalian tidak pantas untuk tinggal di bawah naungan kaki-padma Tuhan, yang bebas dari sifat-sifat tersebut. Sudah sepantasnya bagi kalian segera pergi ke dunia material dan lahir di tengah keluarga kaum asura yang penuh dosa." (hal. 56-63)

GAMBARTIGA

Raja asura Hiranyakasipu ingin menjadi tak terkalahkan dan bebas dari menua dan merosotnya badan. la ingin meraih seluruh kesem-purnaan yoga seperti animd dan laghima, menjadi tidak bisa mati, dan menjadi satu-satunya raja di seluruh alam semesta, termasuk Brahmaloka. Di lembah Gunung Mandara, Hiranyakasipu mulai mempraktikkan pertapaannya dengan cara berdiri menjinjit de­ngan ibu jari kakinya, menjulurkan kedua lengannya ke atas dan kepala menengadah ke langit. Posisi tubuh seperti ini sangatlah sulit, tetapi ia melakukannya sebagai cara untuk mencapai kesem-purnaan. Dari rambut kepala Hiranyakasipu memancar cahaya panas yang seterang dan semenyilaukan cahaya matahari ketika alam mengalami peleburan. Pertapaan keras Hiranyakasipu menye-babkan api menyembur dari kepalanya, dan api beserta asapnya itu menyebar ke seluruh angkasa, menyelimuti planet-planet atas dan bawah, yang membuat semuanya menjadi sangat kepanasan. Kekuatan pertapaan kerasnya menyebabkan seluruh sungai dan lautan bergolak, dan permukaan bumi, beserta pegunungan dan pulau-pulaunya, mulai bergetar, Bintang-bintang dan planet-planet berjatuhan. Seluruh penjuru terkepung kobaran api.(hal. 157-160)

GAMBAR EMPAT

Devva Brahma, yang berkendara seekor angsa, awalnya tidak mene-mukan keberadaan Hiranyakasipu, sebab badan Hiranyakasipu ditutupi oleh sarang semut dan rerumputan serta batang-batang bambu. Hiranyakasipu telah berada di sana selama kurun waktu yang sangat panjang, karena itu semut-semut telah menggerogoti kulit, lemak, daging dan darahnya. Kemudian Dewa Brahma dan para dewa menemukan dia, yang nampak bagaikan matahari ter-selimuti awan, menyebabkan hawa panas di seluruh dunia akibat pertapaannya. Takjub melihat pemandangan tersebut, Brahma tersenyum lalu menyapanya sebagai berikut. "Wahai putra Kas'yapa Muni, bangunlah! Aku sungguh takjub melihat daya tahanmu. Meskipun badanmu telah dimakan dan digerogoti oleh segala jenis cacing dan semut, engkau terus menjaga udara kehidupanmu me-ngalir di dalam tulang belulangmu. Ini tentu sangat menakjubkan. Siapa di ketiga dunia ini yang mampu mempertahankan nyawanya tanpa meminum air sama sekali selama seratus tahun surgawi? Wahai yang terbaik di kalangan paraasura, karena alasan tersebut sekarang aku bersedia memberimu segala anugerah, sesuai dengan keinginanmu." Brahma, insan pertama di jagat raya ini, yang memi-liki kesaktian luar biasa, memercikkan air suci dari kamandalunya ke badan Hiranyakasipu, yang telah digerogoti oleh semut dan ra-yap. Hiranyakasipu bangkit, dengan badan yang utuh dan anggota badan yang kekuatannya mampu menahan sambaran petir. Dengan kekuatan fisik dan rona badan yang menyerupai emas cair, ia mun-cul dari dalam sarang semut sebagai seorang pemuda segar. (hal. 171-179)

GAMBAR LIMA

Setelah menerima anugerah dari Dewa Brahma, Hiranyakasipu menaklukkan penguasa semua planet di ketiga dunia, merampas kekuatan dan pengaruh mereka. Kemudian ia mulai tinggal di istana yang paling mewah milik Indra, Raja surga. Istana itu sedemikian indahnya hingga seolah-olah dewi keberuntungan bagi seluruh alam semesta tinggal di sana. Dengan menduduki takhta Indra, Hiranyakasipu menindas penduduk semua planet.
Suatu ketika Hiranyakas'ipu mendudukkan putra belianya, Maharaja Prahlada, di pangkuannya lalu menanyakan apa yang telah sang anak pelajari dari guru-gurunya. Prahlada menjawab dengan mengutip filsafat mulia Vaisnava yang menguraikan bagai-mana seseorang mencapai kesempurnaan hidup dengan cara mengabdikan segalanya dalam pelayanan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, Krsna. Setelah Maharaja Prahlada berbicara demi-kian, Hiranyakasipu, yang dibutakan oleh kemarahan, mendorong Prahlada dari pangkuannya hingga terlempar ke lantai. Dalam ke-adaan marah, matanya memerah bagaikan tembaga cair, Hiranya­kasipu berkata kepada abdi-abdinya: "Wahai para asura, bawa pergi anak ini! la pantas dibunuh. Bunuh dia sesegera mungkin!" (hal. 206-211, 290-328)

GAMBAR ENAM

Setelah diperintahkan oleh Hiranyakasipu untuk membunuh Maharaja Prahlada, abdi-abdi Hiranyakasipu, para asura, mulai menusuk bagian lembut badan Prahlada dengan trisula mereka. Wajah para asura tersebut sangat mengerikan, giginya runcing dan berwarna kemerah-merahan, rambut dan janggut mereka ber-warna seperti tembaga, dan gelagat mereka sangat mengancam. Sambil berteriak-teriak, "Cincang dia! Tusuk dia!" mereka mulai menyerang Maharaja Prahlada, yang terduduk diam, memusatkan pikiran kepada Personalitas Tuhan Yang Maha Esa. Maharaja Prahlada adalah seorang penyembah yang agung, tak terganggu oleh keadaan-keadaan material dan khusyuk sepenuhnya memusat­kan pikiran dan melakukan pelayanan kepada Personalitas Tuhan Yang Maha Esa. Demikianlah, senjata para asura tidak menimbul-kan efek apa pun terhadap Prahlada. (hal. 333-334)

GAMBARTUJUH

Ketika segala usaha para asura untuk membunuh Maharaja Prahlada terbukti sia-sia, raja kaum asura yang sangat menakutkan itu, Hiranyakasipu, mulai menyiapkan cara lain untuk membunuh Prahlada. Hiranyakasipu berpikir, "Kendati Prahlada baru berusia lima tahun, bahkan pada usia belia itu ia telah meninggalkan ja-linan hubungan kasih sayangnya dengan ayahnya dan ibunya. Prahlada sudah benar-benar tidak dapat dipercaya sebab ia telah menjadi penyembah Visnu, yang telah membunuh paman Prahlada sendiri, Hiranyaksa. Jika bagian badan seseorang terjangkit pe-nyakit yang dapat menulari bagian lainnya, bagian tersebut harus diamputasi agar keseluruhan badan dapat bertahan dengan baik. Demikian pula, putra kandung sendiri pun harus seseorang sing-kirkan jika sang putra bersikap menentang." Demikianlah Hiranya­kasipu menyusun rencana untuk membunuh Maharaja Prahlada. Ia mengira bahvva ia akan dapat membunuh putranya dengan cara melemparkan sang putra ke tengah-tengah kerumunan gajah untuk diinjak-injak, melemparnya ke tengah-tengah ular-ular besar yang menakutkan, menghadirkan sihir-sihir yang memati-kan, menjatuhkannya dari puncak bukit, menghadirkan ilusi, meracuninya, tidak memberinya makanan, menempatkan dia di tengah-tengah keadaan dingin, angin, api dan air yang esktrim, atau melempari dia dengan batu-batu besar untuk meremukkan badannya. Tetapi Maharaja Prahlada, yang sepenuhnya tanpa dosa itu, tidak dapat disakiti dengan cara apa pun. (hal. 329-332, 337)